Hidup siapa yang tahu, kadang dengan pendidikan tinggi sekalipun banyak yand tidak mendapat pekerjaan, karena sukses bukan dilihat dari seberapa tinggi pendidikannya tapi seberapa besar usaha dan prinsipnya untuk sukses.
berikut adalah cerita inspirasi buat semua dari pendiri apps WhatsApp Jon Koum.
WhatsApp adalah aplikasi message untuk smartphone yang dimana kita dapat mengirim pesan,video dan berbagi lokasi pada teman kontak kita di Whatsapp.
yap, saya akan membagi artikel dari
Kompas mengenai bagaimana Jan Koum menjadi seperti sekarang ini.
Pada 1992, Jan Koum yang berusia 16 tahun tiba di Mountain View, Amerika
Serikat. Didampingi oleh ibunya, Koum adalah imigran yang memutuskan
hijrah dari Kiev, Ukraina, dengan mimpi meraih kehidupan yang lebih
baik.
Di AS, mereka mengalami masa-masa sulit. Keluarga Koum tinggal di
apartemen kecil dengan dua kamar tidur hasil bantuan pemerintah. Mereka
terpaksa bergantung pada jaminan sosial dan mengantre kupon makanan
karena tak punya uang.
Koum pun bekerja sebagai tukang sapu di
sebuah toko untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara ibunya mengambil
profesi baru sebagai
baby sitter.
Ayah Koum tak ikut
bermigrasi. Pria yang bekerja di sektor konstruksi ini memilih tinggal
di Ukraina. Begitu terpisah, Koum mengaku tak bisa sering-sering
menghubungi sang ayah karena mahalnya biaya telepon. "Jika saja ketika
itu saya sudah bisa berkirim pesan instan ke ayah…" ujar Koum
berandai-andai dalam wawancara dengan
Wired.
BersekolahSaat
masih tinggal di Ukraina, keluarga Koum hidup di sebuah desa di luar
ibu kota Kiev. Dia pergi menuntut ilmu di sebuah sekolah yang keadaannya
begitu memprihatinkan sampai-sampai tak punya kamar kecil.
"Bayangkan
suhu di luar minus 20 derajat celsius, anak-anak harus berlari
menyeberangi lapangan untuk ke kamar kecil… Saya baru punya komputer
saat umur 19 tahun, tetapi pernah memiliki sempoa," kenang Koum.
Sesampainya di rumah, Koum kecil terpaksa bergelap-gelap karena tak ada
sambungan listrik ataupun air panas.
Begitu pindah ke Amerika dan
mulai bersekolah di sana, keluarga Koum adalah satu-satunya di kelas
yang tidak memiliki mobil. Jadilah Koum terpaksa bangun lebih pagi untuk
mengejar bus. Sang ibu menjejali koper yang dibawa dari negeri asal
dengan pulpen dan buku tulis cetakan Uni Soviet untuk menghemat biaya
peralatan sekolah.
Datang dari negeri seberang, Koum ketika itu
tak pandai berbahasa Inggris. Koum beberapa kali terlibat masalah karena
"membalas anak lain yang mengganggu". Untung, dia terbantu dengan
postur badan yang tinggi menjulang mencapai 188 cm. "Hidup di Ukraina
tak mudah dan membuat saya tangguh secara fisik dan mental," katanya
lagi.
Koum kemudian masuk kuliah, mempelajari ilmu komputer dan
matematika, tetapi tidak sampai selesai. "Prestasi saya buruk, ditambah
lagi dengan rasa bosan."
Duo pendiri WhatsApp Jan Koum (kiri) dan Brian Acton
Maka, dia pun memutuskan drop out, lalu mulai bekerja sebagai pembungkus barang belanjaan di supermarket, setelah itu di toko elektronik, internet provider,
hingga perusahaan audit. Sampai kemudian pada 1997 Koum bertemu dengan
Brian Acton dari Yahoo. Enam bulan setelahnya, Koum mulai bekerja di
Yahoo.
Mendirikan WhatsApp
Koum menjalin persahabatan
dengan Acton, yang banyak membantu Koum ketika sempat hidup sebatang
kara setelah ibunya meninggal pada tahun 2000. Sang ayah telah lebih
dulu wafat pada 1997. "Dia (Acton) sering mengajak saya ke rumahnya,"
tutur Koum.
Menghabiskan sembilan tahun bekerja di Yahoo,
termasuk Yahoo Shopping, Koum merasa tidak nyaman dengan banyaknya iklan
yang harus diurus dan bertebaran di mana-mana.
"Selalu ada
perdebatan untuk menempatkan lebih banyak lagi iklan dan logo di laman
situs. Apa urusan pengguna dengan itu semua? Saya jadi tak nyaman. Iklan
bukan satu-satunya solusi monetisasi untuk semua orang. Sebuah layanan
harus benar-benar berupa layanan murni, pelanggan adalah pengguna," ujar
Koum.
Acton rupanya merasakan hal serupa. Koum dan Acton
kemudian memutuskan keluar dari Yahoo pada hari yang sama, yaitu 31
Oktober 2007. Koum ketika itu berusia 31 tahun dan telah mengumpulkan
uang untuk memulai bisnisnya sendiri. Dia bertekad bahwa bisnisnya ini
tak akan direcoki oleh iklan yang mengganggu.
Koum dan Acton
pisah jalan, tetapi masih sering bertemu untuk mendiskusikan rencana
bisnis. Keduanya sempat mencoba melamar di Facebook dan sama-sama
ditolak.
Secarik kertas berisi motto WhatsApp yang ditulis tangan oleh Brian Acton menghiasi ruang kantor Jan Koum
Pada 2009, setelah membeli sebuah iPhone, Koum menyadari bahwa toko
aplikasi App Store yang baru berumur tujuh bulan akan melahirkan
industri baru yang berisi pengembang-pengembang aplikasi.
Koum mendapat ide untuk membuat aplikasi yang bisa menampilkan
update status seseorang di daftar kontak ponsel, misalnya ketika hampir kehabisan baterai atau sedang sibuk.
Nama
yang muncul di benak Koum adalah "WhatsApp" karena terdengar mirip
dengan kalimat "what's up" yang biasa dipakai untuk menanyakan kabar.
Dia pun mewujudkan ide ini dengan dibantu oleh Alex Fishman, seorang
teman asal Rusia yang dekat dengan komunitas Rusia di kota San Jose.
Pada 24 Februari 2009, dia mendirikan perusahaan WhatsApp Inc di
California.
Tumbuh besarWhatsApp versi pertama benar-benar dipakai sekadar untuk
update status
di ponsel. Pemakainya kebanyakan hanya teman-teman Koum dari Rusia.
"Lalu, pada suatu ketika, ia berubah fungsi jadi aplikasi pesan instan.
Kami mulai memakainya untuk menanyakan kabar masing-masing dan
menjawabnya," ucap Fishman, sebagaimana dikutip oleh
Forbes.
Koum
pun tersadar bahwa dia secara tak sengaja telah menciptakan layanan
pengiriman pesan. "Bisa berkirim pesan ke orang di belahan dunia lain
secara instan, dengan perangkat yang selalu Anda bawa, adalah hal yang
luar biasa," kata Koum.
Ketika itu, satu-satunya layanan
messaging
gratis lain yang tersedia adalah BlackBerry Messenger. Namun, aplikasi
ini hanya bisa digunakan di ponsel BlackBerry. Google G-Talk dan Skype
juga ada, tetapi WhatsApp menawarkan keunikan tersendiri di mana
mekanisme
login dilakukan melalui nomor ponsel pengguna.
Koum merilis WhatsApp versi 2.0 dengan komponen
messaging.
Jumlah pengguna aktifnya langsung melonjak jadi 250.000 orang. Dia
kemudian menemui Acton yang masih menganggur. Acton bargabung dengan
WhatsApp dan membantu mencarikan modal dari teman-teman eks-Yahoo.
Kendati
sempat mengalami kesulitan keuangan, WhatsApp terus tumbuh dan mulai
menghasilkan pendapatan dari biaya langganan yang ditarik dari pengguna.
Kini, WhatsApp telah menjelma jadi layanan pesan instan
terbesar dengan jumlah pengguna aktif per bulan mencapai 450 juta.
Setiap hari, sebanyak 18 miliar pesan dikirim melalui jaringannya. Semua
itu ditangani dengan jumlah karyawan hanya 50 orang.
Warisan SovietPengalaman
hidup Koum ternyata punya pengaruh besar dalam membentuk layanan
WhatsApp. Pria ini menghabiskan masa kecil di Ukraina yang masih menjadi
bagian dari Uni Soviet. Di negeri tersebut, percakapan warga selalu
dimata-matai oleh pemerintah. "Itulah tempat yang saya tinggalkan untuk
menuju ke sini (AS), di mana ada demokrasi dan kebebasan berbicara,"
ujar Koum.
Sehubungan dengan kemungkinan penyadapan oleh NSA,
Koum mengatakan bahwa privasi pengguna WhatsApp sangat dijaga. Berbeda
dengan perusahaan-perusahaan semacam Facebook dan Yahoo, Koum mengatakan
bahwa WhatsApp tak didorong oleh iklan. "Jadi, kami tak perlu
mengumpulkan data pribadi pengguna," katanya.
Soal kebebasan dari iklan ini ternyata juga ada hubungannya dengan masa lalu Koum.
"Tak
ada yang lebih personal dari komunikasi yang Anda lakukan dengan teman
dan keluarga, dan menginterupsi itu semua dengan iklan bukanlah solusi
yang tepat," ujar Koum. "Lagi pula, saya tumbuh di sebuah dunia yang
tidak mengenal iklan. Tak ada iklan di Uni Soviet yang komunis,"
imbuhnya.
Brian Acton (kiri), Jan Koum (tengah) dan Jim Goetz dari Sequoia Capital
berfoto di depan bekas kantor Dinas Sosial North County usai meneken
perjanjian dengan Facebook
Sejak dulu, Koum dan Acton selalu konsisten menjaga layanan perusahaan
itu agar tetap sederhana dan berfokus pada pengiriman pesan serta bebas
iklan.
Sikap ini tecermin dari secarik kertas di ruang kantor
Koum, berisikan semboyan singkat yang ditulis oleh Acton: "Tanpa Iklan!
Tanpa Permainan! Tanpa Gimmick!". Di sampingnya tergeletak sepasang
walkie-talkie yang dipakai Koum untuk mencari tahu bagaimana caranya menyederhanakan pesan instan berbasis suara.
Kini,
WhatsApp telah dibeli Facebook dengan nilai 19 miliar dollar AS
(sekitar Rp 223 miliar). Kekayaan Koum yang memiliki 45 persen saham
WhatsApp diperkirakan melonjak jadi 6,8 miliar dollar AS.
Kendati
demikian, dia tak melupakan masa lalu. Koum menandatangani perjanjian
bernilai triliunan rupiah dengan Facebook itu di depan bekas kantor
Dinas Sosial North County, Mountain View, tempat dia dulu mengantre
kupon makanan bersama-sama warga kurang mampu lainnya.
Sumber :
Kompas Tekno